Dengan
dalih supaya anggota keluarga, utamanya anak-anak terkontrol shalatnya,
atau melatih si kecil agar mengenal ibadah shalat sejak dini, maka
muncullah gejala menyediakan ruang di dalam rumah yang dikhususkan untuk
ibadah, dalam hal ini shalat berjamaah dengan imam sang ayah. Padahal,
masjid atau musholla tidak seberapa jauh dari rumah tinggal. Keputusan
sang ayah sebagai pemimpin keluarga, dalam hal ini kurang tepat.
Lantaran syariat telah menetapkan, bahwa pelaksanaan shalat fardhu
secara berjamaah dilakukan di tempat yang khusus, yaitu masjid-masjid.
Kecuali dalam kondisi-kondisi tertentu, seperti ketika turun hujan. Dan
konsekuensinya, dengan tidak mendatangi masjid, berarti pahala yang
dijanjikan, berupa keterpautan 27 atau 25 kebaikan dibandingkan shalat
sendirian pun tak dapat diraihnya. Artinya, mestinya ia tetap pergi ke
masjid untuk menjalankan shalat fardhu secara berjamaah.
Menurut pemahaman para sahabat Rasulullah, bahwasanya hadits-hadits yang
menyebutkan keutamaan shalat berjamaah berlaku di masjid-masjid jami'
atau masjid-masjid umum, bukan di dalam rumah.[Faidhul-Bâri, 2/72, 193]
Para sahabat berduyun-duyun ke masjid bila ingin memperoleh pahala
shalat jamaah, bukan menunaikannya di tempat tinggal mereka. Bila shalat
jamaah terlewatkan, baru mereka menjalankan shalat wajib di rumah.
Jadi, shalat jamaah mereka hanya di masjid saja.
Ibnu Nujaim
rahimahullah berkata: "Barang siapa melaksanakan shalat jamaah di rumah,
ia tidak mendapatkan pahala shalat jamaah, kecuali karena ada udzur
(yang dibenarkan syariat)".
Landasar penjelasan ini ialah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
صَلَاةُ الرَّجُلِ فِي الْجَمَاعَةِ تُضَعَّفُ عَلَى صَلَاتِهِ فِي
بَيْتِهِ وَفِي سُوقِهِ خَمْسًا وَعِشْرِينَ ضِعْفًا وَذَلِكَ أَنَّهُ
إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ لَا
يُخْرِجُهُ إِلَّا الصَّلَاةُ لَمْ يَخْطُ خَطْوَةً إِلَّا رُفِعَتْ لَهُ
بِهَا دَرَجَةٌ وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ فَإِذَا صَلَّى لَمْ تَزَلْ
الْمَلَائِكَةُ تُصَلِّي عَلَيْهِ مَا دَامَ فِي مُصَلَّاهُ اللَّهُمَّ
صَلِّ عَلَيْهِ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ وَلَا يَزَالُ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاةٍ
مَا انْتَظَرَ الصَّلَاةَ
Shalat seseorang di jama'ah lebih
besar dibandingkan shalatnya di rumah dan pasarnya sebanyak dua puluh
lima lipat. Demikian ini, tatkala ia berwudhu dan mengerjakannya dengan
baik, kemudian ia keluar menuju masjid, tidak keluar melainkan untuk
mengerjakan shalat (jamaah), tidaklah ia melangkahkan kakinya kecuali
akan mengangkat derajatnya dan menghapus kesalahannya. Apabila ia sedang
menjalankan shalat, maka malaikat akan senantiasa mendoakannya selama
ia masih berada di tempat shalatnya (dengan doa): 'Ya Allah, berikanlah
kebaikan baginya. Ya Allah, rahmatilah dia'. Dan salah seorang dari
kalian tetap berada dalam kondisi shalat selama menantikan shalat". [HR
al-Bukhâri].
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam hadits di atas "kemudian ia keluar menuju ke masjid" merupakan
'illah (alasan) yang manshûshah (eksplisit, sangat jelas) tertuang dalam
hadits, sehingga tidak boleh dikesampingkan.[ Al-Ma'âlim, 138 ] Adapun
dalam masalah mendidik dan melatih anak-anak agar mau menjalankan ibadah
shalat, ada cara lain yang telah dicontohkan.
( Mendidik anak dengan Shalat Sunnah )
Shalat yang semestinya dilakukan oleh seorang muslim (laki-laki) di
rumah tinggalnya, sebenarnya sudah ditentukan. Yaitu pada shalat-shalat
nawâfil (shalat-shalat sunnat), semisal shalat rawaatib, dhuha, dan
lainnya. Demikianlah, petunjuk dan anjuran Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, bahwasanya menunaikan shalat-shalat sunnat ialah di
rumah.
Disebutkan dalam riwayat dari Zaid bin Tsâbit Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَإِنَّ أَفْضَلَ الصَّلَاةِ صَلَاةُ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا الْمَكْتُوبَةَ
Sungguh, sebaik-baik shalat, (ialah) shalat seseorang di rumahnya
kecuali shalat maktûbah (shalat wajib). [HR al-Bukhâri dan Muslim].
Dengan melaksanakan shalat sunnat di rumah, berarti seseorang telah
mengaplikasikan petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
menghidupkannya (ihyâ`us-sunnah). Dan lagi, dengan melaksanakan shalat
sunnat di rumah, berarti menambah tingkat keikhlasan dan pahala, karena
jauh dari pandangan orang lain. Dalam hadits lain, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara tentang keutamaan shalat sunnah
di rumah :
صَلَاةُ الرَّجُلِ تَطَوُّعًا حَيْثُ لَا يَرَاهُ النَّاسُ تَعْدِلُ صَلاَتَهُ عَلَى أَعْيُنِ النَّاسِ خَمْسًا وَعِشْرِيْنَ
Shalat sunnah seseorang dengan tanpa dilihat oleh manusia, (pahalanya)
menyamai shalatnya di tengah-tengah manusia sebanyak dua puluh lima
derajat. [Shahîh al-Jâmi', no. 3821].
Syaikh 'Abdul 'Azîz
as-Sad-hân menyebutkan fungsi lain dalam hal pelaksanaan shalat sunnat
oleh orang tua di rumah. Yaitu manfaat yang bersifat tarbawi (edukatif).
Bahwa anak-anak akan terpengaruh dengan apa yang dilakukan sang ayah.
Anak-anak menyaksikan sang ayah yang sedang menjalankan shalat (sunnah)
dengan mata kepala mereka sendiri.
Ini terkait dengan sifat
bawaan anak-anak, yaitu suka meniru apa yang dilakukan oleh orang tua
mereka. Melalui sifat inilah, anak-anak diharapkan mendapatkan pengaruh
positif dari shalat sunnah. Kemudian tertanam pada jiwa mereka mengenai
cara menjalankan ibadah shalat secara baik dan benar. Sehingga terkadang
bisa dilihat, si anak berdiri berjajar dengan ayah, atau menirukan
beberapa gerakan dalam shalat.[11] Maka dalam hal ini, berarti sang ayah
telah mendidik anak-anak (dan anggota keluarganya) melalui keteladanan
(at-tarbiyah bil-qudwah)
KESIMPULAN
1. Shalat merupakan salah satu kewajiban terpenting.
2. Ayah (suami) wajib memerintahkan keluarganya untuk mendirikan shalat.
3. Shalat fardhu berjamaah berlaku di masjid, bukan di rumah.
4. Shalat Sunnat lebih utama dikerjakan di rumah.
5. Shalat sunnat yang dikerjakan di rumah memiliki fungsi edukatif (pendidikan) bagi anak-anak. Wallahu a'lam (Abu Minhal)
(Inti pembahasan diadaptasi dari kitab: Al-Qaulul-Mubîn fî Akhthâ`il Mushallin, halaman 266 – 268)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar